Praktik suap menyuap di Indonesia sudah menjadi
kebiasaan yang lumrah. Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan
dengan publik. Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang
berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat
urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang
Informasi dan Data KPK DRM Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency
International, sebuah organisasi non-pemerintah yang giat mendorong
pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling
korup di dunia. Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi
Korupsinya (IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai
10 sangat bersih. Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang
disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi
masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat
korupsi di suatu negara.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey
Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang
dikutip Demartoto (2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat
yang ada di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.
dampak suap-menyuap yang terjadi sangat luar biasa terhadap tatanan roda pemerintahan. Nye (dalam
Revida, 2003, h.3) menjelaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi
menjadikan: pertama, pemboroan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan
terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian serta bantuan yang lenyap.
Kedua, ketidakstabilan, revolusi sosial,pengambilalihan kekuasaan oleh militer,
menimbulkan ketimpangan sosial budaya. Ketiga, pengurangan kemampuan aparatur
pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan
administrasi.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa bila
suap-menyuap tidak diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah
akan berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.
Lalu bagaimanakah menindak pola suap dan korupsi ini?
World Bank(dalam Demartoto, 2007, h. 89-102) memberikan tiga rekomendasi bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif.
Yaitu, pertama, membangun birokasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan
struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya.
Rekrutmen berdasarkan prestasi dan sistem promosi haruslah diberdayakan
sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga
harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara
arbitrasi.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk
melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka,
baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. Ketiga,
menegakan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring
dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik juga hendaknya memberdayakan
fungsi kontrol dan pengawasan publik.