Powered By Blogger

Rabu, 04 April 2018

Fenomena Politik Suap


Praktik suap menyuap di Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan dengan publik. Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang Informasi dan Data KPK DRM Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang giat mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi Korupsinya (IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih. Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang dikutip Demartoto (2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat yang ada di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.
 dampak suap-menyuap yang terjadi sangat luar biasa terhadap tatanan roda pemerintahan. Nye (dalam Revida, 2003, h.3) menjelaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi menjadikan: pertama, pemboroan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian serta bantuan yang lenyap. Kedua, ketidakstabilan, revolusi sosial,pengambilalihan kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. Ketiga, pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa bila suap-menyuap tidak diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah akan berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.

Lalu bagaimanakah menindak pola suap dan korupsi ini? World Bank(dalam Demartoto, 2007, h. 89-102) memberikan tiga rekomendasi bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif. Yaitu, pertama, membangun birokasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan prestasi dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, menegakan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik juga hendaknya memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan publik.